JABARCENNA.COM | Portal Berita Jabar Katanya


JabarCeNNa.com, Kuningan - Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun depan akan dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) yakni pada tanggal 17 April 2019.

Pada Pileg 2019 nanti akan diikuti 20 partai politik yang terdiri dari 16 partai nasional dan 4 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

Adapun ke 16 partai politik nasional tersebut adalah Partai Demokrat, Gerindra, Golkar, Hanura, PAN, PDIP, PKB, PKS, PPP, Nasdem.

Lalu Partai Garuda, Berkarya, PSI, PBB, PKPI dan Perindo.

Ada perbedaan pada Pileg 2019 dibanding dengan Pileg 2014, yakni dalam hal teknik menghitung pengkonversian suara menjadi kursi.

Jika Pemilu 2014 memakai metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) untuk menentukan jumlah kursi, maka pada Pileg 2019 yang digunakan adalah metode Sainte Lague.

Metode ini diperkenalkan oleh seorang matematikawan asal Perancis bernama Andre Sainte Lague pada tahun 1910.

Penggunaan metode ini disebut secara jelas dalam Pasal 415 Ayat (2) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa, setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya. 

Sedangkan ambang batas ditentukan 4 persen (Pasal 414 Ayat 1, UU No 7/2017).

Lalu bagaimana cara penghitungan atau pengkonversian suara menjadi kursi dengan metode Sainte Lague? 

Berikut diberikan contoh:

Apabila dalam satu dapil ada alokasi 7 kursi misalnya, pada dapil tersebut:
  1. Partai A total meraih 28.000 suara
  2. Partai B meraih 15.000
  3. Partai C meraih 10.000
  4. Partai D meraih 6.000 suara.
  5. Partai E 3000 suara.

Maka kursi pertama didapat dengan pembagian 1.
  1. Partai A 28.000/1 = 28.000.
  2. Partai  B 15.000/1 = 15.000
  3. Partai C 10.000/1 = 10.000
  4. Partai D 6.000/1 = 6.000
  5. PartaiE 3.000/1 = 3.000

Jadi kursi pertama adalah milik partai A dengan 28.000 suara. Untuk kursi ke 2, Dikarenakan A tadi sudah menang di pembagian 1.

Maka berikutnya A  akan dibagi 3, sedangkan yang lain masih dibagi 1.

Perhitungan kursi ke-2 adalah:
  1. Partai A 28.000/3 = 9.333
  2. Partai B 15.000/1 = 15.000
  3. Partai C 10.000/1 = 10.000,
  4. Partai D 6.000/1 = 6.000
  5. Partai E 3.000/1 = 3.000

Maka kursi ke 2 adalah milik partai B dengan 15.000 suara.

Sekarang kursi ke 3, A dan partai B telah mendapatkan kursi dengan pembagian 1, maka mereka tetap dengan pembagian 3, sedangkan suara partai lain masih dengan pembagian 1.

Maka perhitungan kursi ke 3 adalah:
  1. Partai A 28.000/3 = 9.333.
  2. Partai B 15.000/3 = 5.000,
  3. Partai C 10.000/1 = 10.000
  4. Partai D 6.000/1 = 6.000
  5. Partai E 3.000/1 = 3.000

Maka disini kursi ke 3 milik partai C dengan 10.000 suara.

Perhitungan suara untuk kursi ke 4, A , B dan C telah mendapat kursi dengan pembagian 1, maka mereka akan masuk ke pembagian 3.

  1. Partai A 28.000/3 = 9.333
  2. Partai B 15.000/3 = 5.000
  3. Partai C 10.000/3 = 3.333
  4. Partai D 6.000/1 = 6.000
  5. Partai E 3.000/1 = 3.000

Maka kursi ke 4 adalah milik A dengan 9.333 suara.

Masuk ke kursi ke 5, Partai A sudah mendapat kursi hasil pembagian suara 1 dan 3, maka selanjutnya A akan dibagi 5, B dan C dibagi 3,sementara D dan E masih pada pembagian 1.

Penghitungan kursi ke 5 adalah:
  1. Partai A 28.000/5 = 5.600.
  2. Partai B 15.000/3 = 5.000
  3. Partai  C 10.000/3 = 3.333
  4. Partai D 6.000/1 = 6.000
  5. Partai  E 3.000/1 = 3.000

Maka partai D mendapatkan kursi ke 5 dengan 6.000 suara.

Kursi ke 6, A dibagi 5. B,C dan D dibagi 3, dan E masih dibagi 1.
  1. Partai A 28.000/5 = 5.600.
  2. Partai B 15.000/3 = 5.000.
  3. Partai C 10.000/3 = 3.333
  4. Partai D 6.000/3 = 2.000
  5. Partai E 3.000/1 = 3.000

Disini A kembali mendapat kursi,karena suaranya ada 5.600.

Sedangkan perhitungan kursi terakhir, A mendapatkan pembagian 7, karena pembagian 1,3 dan 5 telah menghasilkan kursi.

Maka perhitungan kursi ke 7 adalah:

  1. Partai A 28.000/7 = 4.000
  2. Partai  B 15.000/3 = 5.000.
  3. Partai C 10.000/3 = 3.333
  4. Partai D 6.000/3 = 2.000
  5. Partai E 3.000/1 = 3.000

Maka partai B mendapat kursi terakhir dengan 5.000 suara.


.red

JabarCeNNa.com, Cirebon - PDIP langsung memecat Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra dari keanggotaan partai tidak lama setelah sang bupati terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh petugas KPK di rumah dinas bupati  Jalan Kartini 1, Kota Cirebon,sekitar pukul 19.00 WIB, Rabu, 24 Oktober 2018.

"Ya, langsung kita berhentikan, karena itu yang berlaku di partai kami," terang Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 24 Oktober 2018 malam.

Hasto mengatakan, Ketua Umum PDIP Megawati sangat menyesalkan akan peristiwa ditangkapnya Sunjaya oleh petugas KPK.

"Partai dan Ibu Mega sudah kerap mewanti-wanti agar para kader partai yang menjadi kepala daerah untuk tidak melakukan korupsi. Dan partai pun sudah memberikan sanksi berat kepada mereka yang terkena kasus korupsi yaitu berupa pemecatan. Tetapi tetap saja masih terjadi," ungkap Hasto.

Seperti diketahui, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra yang baru saja terpilih untuk kedua kalinya, ditangkap petugas KPK di rumah dinasnya, Rabu malam sekitar pukul 19.00 WIB. Turut ditangkap ajudan dan sopir sang bupati.

Dalam penangkapan itu petugas menyita uang miliaran rupiah, yang menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, uang itu diduga hasil jual beli jabatan di jajaran Pemkab Cirebon, dan sebagian lagi uang setoran dari pengusaha.

Ketika penangkapan terjadi, situasi di rumah dinas bupati terlihat lebih ramai, sehingga membuat para pelintas jalan penasaran, apa yang terjadi.

Petugas Satpol PP pun langsung menutup pintu gerbang pendopo, dan wartawan pun dilarang masuk ke dalam pendopo.

Kabar penangkapan ini dibenarkan Ketua KPK Agus Raharjo.

 "Benar. Hari ini ada giat di Cirebon," kata Agus singkat ketika dihubungi, Rabu (24/10), namun dia enggan menjelaskan lebih lanjut.

" Besok akan disampaikan dalam konpres," kata Agus.


.ebiet.jamal/tn


JabarCeNNa.com, Cirebon - Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra diduga ditangkap petugas KPK dalam sebuah  OTT di rumah dinas bupati  di Jalan Kartini 1 Kota Cirebon sekitar pukul 19.00 WIB, Rabu, 24 Oktober 2018.

Situasi di rumah dinas nampak ramai, sehingga membuat para pelintas jalan jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi.

Petugas Satpol PP pun langsung menutup pintu gerbang pendopo, dan wartawan pun dilarang masuk ke dalam pendopo.

Kabar penangkapan ini dibenarkan Ketua KPK Agus Raharjo dibenarkan dan dikatakanya, salah satu yang ditangkap adalah Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra.

 "Benar. Hari ini ada giat di Cirebon," kata Agus singkat ketika dihubungi, Rabu (24/10), namun dia enggan menjelaskan lebih lanjut.

" Besok akan disampaikan dalam konpres," kata Agus.

Dalam penangkapan tersebut petugas KPK menyita uang miliaran rupiah.

"Miliaran rupiah, persisnya belum tahu, masih dihitung," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Rabu malam.

Basaria mengatakan uang tersebut adalah untuk jual beli jabatan, dan ada juga setoran dari pengusaha.

Selain bupati, diperoleh informasi turut ditangkap ajudan dan sopir sang bupati.


.jamal/tn

JabarCeNNa.com, Bandung - Program 'Jaksa Sahabat Guru' (JSG) yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat dinilai sebagai program yang mengada-ada dan tidak jelas maksud dan tujuanya. 

"Jaksa itu penuntut umum, bukan konsultan hukum, apalagi  konsultan keuangan," ucap Tunggul Naibaho, Direktur Eksekutif ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput) Institute, ketika dihubungi per telepon, Rabu, 24 Oktober 2018.

"Itu Kajati  (Kepala Kejaksaan Tinggi) Jabar kayak kurang kerjaan aja bikin program-program yang gak jelas juntrunganya. Itu menandakan kalau dia tidak mengerti fungsi dan peran jaksa, atau pura-pura tidak paham," ketus Tunggul.

Jaksa itu digaji rakyat untuk menuntut, bukan untuk jadi konsultan hukum, tandas Tunggul.

Dan lagi, Pemprov Jabar secara institusional punya instrumen sendiri untuk meningkatkan kemampuan para guru dalam pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan, ujar Tunggul.

"Itu kan soal- soal pembukuan, bukan soal hukum. Kenapa tiba-tiba jaksa jadi merasa ahli pembukuan atau accounting. Trus, kenapa Kang Emil (Ridwan Kamil, Gubernur Jabar) jadi milu-milu (ikut-ikut) ngaco," tanya Tunggul dalam nada pedas.

Persoalan korupsi itu soal yang sederhana, dan secara prinsipil itu adalah masalah moral, apakah anda mau curi duit rakyat atau amanah, itu saja, kata Tunggul.

Tunggul pun mencurigai, dalam program tersebut, Kajati Jabar mau cari 'sampingan' yang uangnya adem? 

"Jangan dibilang saya kasar, itu program JSG Kajati yang vulgar. Jadi pejabat ulah sok (jangan suka) ngawur.  Baca ulanglah UU Kejaksaan," tandas Tunggul.

Tugas dan Wewenang Jaksa secara limitatif, terang Tunggul, telah ditentukan dalam Pasal 30 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada Pasal 30 Ayat (1) ditentukan di bidang hukum acara pidana, Pasal 30 Ayat (2) di bidang hukum perdata dan TUN, serta Pasal 30 Ayat (3) di bidang Ketertiban dan ketentetaman umum.

Pada Pasal 30 Ayat (1) ditegaskan  tugas dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum, pelaksana penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, lalu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, juga melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Pada Pasal 30 Ayat (2) peran jaksa di lapangan hukum perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa dikatakan dapat berperan sebagai Pengacara Negara dengan Kuasa Khusus.

Sedangkan pada Pasal 30 Ayat (3) adalah peran kejaksaan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, jaksa bertugas melakukan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.


Tunggul Naibaho
Pembodohan Umum

Jadi kalau Kajati Jabar, Raja Nafrizal, lanjut Tunggul, mengatakan program JSG itu adalah termasuk dalam tugas peningkatan kesadaran hukum masyarakat, jelas Kajati bukan lagi melakukan kebohongan publik, tetapi sudah melakukan pembodohan umum, tandas Tunggul.

"Itu bukan lagi kebohongan publik, tetapi levelnya sudah di pembodohan umum. Sebab, tugas peningkatan kesadaran hukum masyarakat itu dilakukan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, bukan pada bidang pengelolaan keuangan negara. 

"Ulah sok ngaco (jangan suka ngawur), jadi pejabat," kecam Tunggul.

Kalaupun kejaksaan melakukan kerjasama, pada Pasal 33 UU Kejaksaan menyebutkan kerjasama dengan lembaga penegak hukum dan keadilan lainnya.

"Bukan dengan Dinas Pendidikan dan PGRI," sergah Tunggul.

Dan lagi, 'Jaksa Sahabat Guru' itu kan anomali, persahabatan yang aneh, masak serigala bersahabat sama kambing, kurang lebih begitulah ilustrasinya, kata Tunggul. Namun demikian dia menolak jika dikatakan menyamakan jaksa dengan serigala, tetapi lebih dimaksudkan peran mendakwa dan menuntut yang hanya dimiliki jaksa, dan lagi oleh institusinya jaksa dituntut harus mampu membuktikan dakwaan yang diajukanya di muka persidangan, jelas Tunggul.

"Jadi, jangan-jangan, besok-besok, ada petinggi kejaksaan bikin program Jaksa Sahabat Birokrat, Jaksa Sahabat Bankir, Jaksa Kawan Pejabat. Soal alasan, kan bisa dicari. Kalau sudah begitu, bubarkan saja sistim demokrasi di republik ini. Atau sekalian kasihkan saja negara ini kepada mereka-mereka," ucap Tunggul.

Jaksa itu, menurut Tunggul, sahabat semua pihak, dan sekaligus bukan sahabat siapa-siapa.

"Hati-hati menggunakan kata dan kalimat, karena itu mewakili kesadaran kita tentang realitas dan fenomena. Dan program JSG itu adalah kesadaran pak Kajati tentang jaksa serta tugas dan wewenangnya, yang jika dibiarkan itu akan menjadi kesadaran milik umum, karena pak Kajati itu pejabat," ulasnya.

Tunggul pun menyarankan, agar Kajati Jabar kembali saja kepada fungsi dan peran jaksa seperti ditetapkan UU Kejaksaan, dan batalkan itu program JSG, karena rakyat, kata dia, pasti mencibir di belakang, dan berprasangka buruk, itu tidak bisa dicegah dan ditolak.

"Kembali saja ke UU, tugas yang diamanatkan UU saja pelaksanaanya masih banyak yang kedodoran, kenapa musti cari-cari pegawean anu teu puguh, (kerjaan yang bukan-bukan)," pungkas Tunggul.


.iwn
Diberdayakan oleh Blogger.