JABARCENNA.COM | Portal Berita Jabar Katanya

JabarCeNNa.com, Jakarta - Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra membantah dirinya sudah menerima uang suap jual beli jabatan dari Sekretaris Dinas PUPR Gatot Rachmanto sebesar Rp100 juta seperti yang dituduhkan pihak KPK kepada dirinya.

Sunjaya dan Gatot, keduanya telah ditetapkan KPK sebagai tersangka suap. Sunjaya sebagai tersangka penerima suap sedangkan Gatot sebagai tersangka pemberi suap.

"Sampai sejarang saya tidak ada menerima uang itu (uang dari Gatit Rp100 juta)," kata Sunjaya kepada wartawan saat digiring petugas, di gedung KPK, Kamis, 25 Oktober 2018.

Dalam kasus Sunjaya, KPK sendiri telah sampai pada kesimpulan bahwa Bupati Cirebon telah mempraktekan jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan jual beli jabatan tersebut apakah mutasi, rotasi atau promosi ada tarifnya sendiri-sendiri.

"Lurah Rp 10 juta, camat Rp50 juta, eselon 3 Rp100 juta dan eselon 2 berkisar Ro200 juta. Tapi ada juga pertimbangan strategis dan tidaknya jabatan atau instansi," kata Febri.

Sementara itu puluhan aktivis di Cirebon berkumpul dan menyatakan bersyukur atas ditangkapnya Sunjaya yang selama ini memang dikenal suka melakukan mutasi pejabat.

"Ya, kita bersyukur dia ditangkap KPK. Selama ini dia suka mutasi pejabat seenaknya dan selalu berbau transaksional," kata Koordinator Forum Aktivis Muda Cirebon Raya di depan Rumah Dinas Bupati Cirebon, Jumat, 26 Oktober 2018.

Para aktivis pun mengumpulkan uang receh logam menyindir Sunjaya yang kerap melakukan jual beli jabatan dan proyek di Kabupaten Cirebon.


.mar.jamal/tn

JabarCeNNa.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap jual beli jabatan dan penerimaan gratifikasi proyek di Pemkab Cirebon, Kamis, 25 Oktober 2018.

Bersama Sunjaya, KPK juga menetapkan Gatot Rachmanto, Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon sebagai tersangka pemberi suap.

“KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan menetapkan dua orang sebagai tersangka yaktu diduga sebagai penerima SUN, Bupati Cirebon dan diduga sebagai pemberi GAR Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di gedung KPK, Kamis (25/10).

Untuk mencegah kekosongan pemerintahan, Sekda Cirebon Rachmat Sutisno akan bertindak sebagai Plt Bupati Cirebon.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan kronologi penangkapan Sunjaya kepada media. Alex mengatakan, pada awalnya Tim KPK  mendapat informasi akan ada transaksi suap jual beli jabatan dan gratifikasi kepada Sunjaya. 

Kemudian, tim penyidik menuju kediaman ajudan Sunjaya berinisial DS dan mengamankan uang Rp 116 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu.

“Tim juga mendapatkan bukti setoran ke rekening penampungan milik Bupati yang diatasnamakan orang lain senilai Rp 6.425.000.000,” tambahnya.

Setelah itu, sekitar pukul 16.30 WIB, tim penindakan KPK menuju kediaman Gatot dan menangkapnya. Secara paralel, tim juga mengamankan Sunjaya dan ajudannya yang berinisial N dikantor pendopo Bupati.

“Tim juga kemudian mengamankan Kabid Mutasi berinisial SD. Kemudian, pukul 17.30 WIB, Kepala BKPSDM berinisial SP tiba di kantor Bupati dan diamankan tim,” pungkasnya lagi.

Keterangan diperoleh menyebutkan KPK membawa enam orang ke Jakarta yakni, Sunjaya, Gatot Rachmanto, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM, Supadi Priatna, dan anak buahnya Kabag Mutasi dan Kepangkatan, Sri Darmanto, Ajudan bupati bernama Nanda dan sopir bupati bernama Mamat.


.mar.jamal/ tn

JabarCeNNa.com, Kuningan - Program 'Jaksa Sahabat Guru' (JSG) yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Pemprov Jawa Barat dipertanyakan apakah program tersebut sebagai tindakan preventif ataukah sikap protektif atas kemungkinan praktik-praktik korupsi di instansi dan lembaga pendidikan di wilayah Jawa Barat.

Hal ini dipertanyakan ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput) Institute, mengingat posisi jaksa adalah aparat penegak hukum dan sekaligus sebagai  penuntut umum.

"Ini program (JSG) maksudnya preventif atau protektif? Karena jaksa itu penegak hukum, lho. Penuntut umum, lagi," kata Tunggul Naibaho, Direktur Eksekutif ANCaR Institute ketika ditemui di kawasan Ancaran, Kabupaten Kuningan, Kamis, 25 Oktober 2018.

Seperti diketahui, program JSG diinisiasi Kajati Jabar Raja Nafrizal, yaitu program pendampingan oleh jaksa untuk dinas pendidikan, sekolah dan para guru dalam pengelolaan dana pendidikan seperti dana BOS, dan dana pendidikan lainya.

Raja mengungkapkan, ide JSG itu muncul ketika dirinya sering mendengar adanya guru yang terkena kasus hukum (korupsi) menjadi pesakitan.

"Kita kasihanlah. Jadi kita harus kawal para pahlawan tanpa jasa (guru) ini dari awal. Dan kawan-kawan di kejaksaan pun kompak untuk mengawal program ini," kata Raja, ketika meluncurkan program JSG ini bersama Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Gedung Kajati Jabar di jalan RE Martadinata, Bandung, Selasa (23/10).

Tentang pendampingan guru, Tunggul menilai, masih dapat diterima akal jika yang melakukan pendampingan tersebut adalah pihak Inspektorat. Alasanya, karena dinas pendidikan dan para gurunya, berada di bawah satu atap dengan inspektorat.

Dan lagi, di inspektorat itu kumpul para auditor yang dapat memberi arahan bagaimana seharusnya membukukan transaksi-transaksi, bagaimana cara membuat laporan keuangan yang sesuai dengan standar akutansi nasional.

"Disitu kan persoalanya, soal administrasi dan pembukuan. Bukan persoalan hukum. Lalu jaksa mau kasih konsultasi apa?" tanya Tunggul.

Dan jika ada pejabat di dinas pendidikan atau guru terkena kasus korupsi, tentu wajar  juga jika pihak Inspektorat ikut merasa prihatin dan malu, karena mereka berada di bawah satu atap pemerintahan daerah, ujar Tunggul.

"Tapi kalau tiba-tiba jaksa yang merasa prihatin dan malu, seperti kata Kajati, bagaimana ceritanya? Kejaksaan itu kan organsasi vertikal ke pusat, yang ditugaskan untuk menegakan hukum. Akh, jangan suka lebai dan mengada-ada," sinis Tunggul.

Tunggul juga menilai rasa kasihan dan iba kepada para guru yang jadi pesakitan kasus korupsi, seperti Kajati kemukakan sebagai alasanya meluncurkan program JSG, adalah alasan yang tidak jelas.

"Kasihan kepada guru yang jadi pesakitan,  terdengar seperti moralis. Betul moralis. Tapi moralis yang inkonstitusional."

"Kenapa saya bilang begitu, karena seharusnya Kajati senang, dong, ketika jaksa yang mendakwa dapat membuktikan dakwaanya, bahwa si guru pesakitan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi," sergah Tunggul.

Jadi, menurut Tunggul, rasa kasihan kepada guru yang menjadi pesakitan tidak dapat dijadikan Kajati sebagai alas moral.

"Kalau kita balik bertanya kepada Kajati, apakah dia tidak merasa kasihan kepada para siswa miskin yang uangnya dimakan oleh oknum guru yang korup tersebut?" serang Tunggul.

Jadi menurutnya, program  'Jaksa Sahabat Guru' itu, selain tidak punya dasar hukum, juga tidak punya pijakan moral yang jelas," tegas Tunggul.

Seperti diberitakan sebelumnya, menurut Tunggul, berdasarkan Pasal 30 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa tugas dan wewenang jaksa secara limitatif hanya kepada tiga hal yaitu, dalam ranah hukum (acara) pidana diantaranya,sebagai penuntut umum, pelaksana ketetapan hakim dan keputusan pengadilan. 

Lalu di ranah hukum perdata dan TUN, dapat bertindak sebagai Pengacara Negara dengan kuasa khusus. Dan memberikan supporting dalam bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum.

Jaksa, kata Tunggul, digaji rakyat utamanya untuk menuntut, bukan untuk jadi konsultan.

Arahan Gubernur

Lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, kata Tunggul, sampai-sampai memberi arahan, jika membuat Rencana Anggaran Kerja Sekolah (RAKS) harus dikonsultasikan dulu dan harus disetujui tim kejaksaan. Dengan demikian maka kita akan aman dan fokus mengajar, kata Tunggul, mengulang ucapan Gubernur ketika program JSG ini diluncurkan Selasa lalu.

"Kalau mendengar arahan gubernur tadi, kita jadi bertanya, sesungguhnya program JSG itu program preventif atau protektif? Kita mau tahu apa jawaban Kajati dan Gubernur?" kata Tunggul dalam nada bertanya. 

Tunggul bahkan meyakini, jika program JSG ini terus dilanjutkan, maka Kajati dan Gubernur akan terperangkap kepada situasi,  dimana Pemerintah dan Negara akan saling melindungi untuk melakukan praktik korupsi.

"Itu situasi yang sangat berbahaya, dimana pemerintah dan negara secara kelembagaan memproteksi dirinya untuk aman secara hukum dalam melakukan korupsi," tandas Tunggul, dengan melakukan penekanan pada kata 'secara kelembagaan'.

Zero Korupsi

Bahkan Kajati, lanjut Tunggul,, menyatakan harapanya di dunia pendidikan Jabar, zero korupsi. 

Kajati mengatakan, kalau masih ada korupsi, yang malu kita juga (jaksa), karena sebagai sahabat gagal membina sahabat, kata Tunggul mengulang omongan Kajati saat meluncurkan program ini di kantornya, Selasa lalu.

"Sungguh, saya tidak mengerti dasar omongan Kajati tersebut. Buat saya itu omongan yang mengerikan.  Buat apa angka korupsi di pengadilan NOL, tetapi realitasnya sebaliknya," cerca Tunggul.

Menurut Tunggul, zero korupsi di dunia pendidikan di Jabar yang ditarget Kajati hampir pasti bisa dicapai, karena jaksa sebagai penuntut umum, satu-satunya aparat penegak hukum yang mempunyai wewenang membawa perkara pidana ke meja hijau, sudah menjadi konsultan sekaligus protektor, di sisi sana.

Lebih jauh Tunggul membandingkan dengan aktivitas pasar, dimana praktik kartel dilarang, yakni  dimana dua korporasi atau lebih yang bekerjasama dan bersepakat dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga pasar atas suatu barang atau jasa.

"Di pasar saja, kartel dilarang, seperti Honda dan Yamaha pernah dikenakan denda Rp47,5 miliar oleh pengadilan yang diajukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena bersepakat dan mengatur harga sepeda motor jenis matic sehingga berharga jual tinggi di pasar," tutur Tunggul.

Jadi, dia mendesak Gubernur Jabar dan juga Kajati untuk sebaiknya membubarkan program JSG tersebut, karena menurutnya,  selain tidak memiliki dasar hukum, juga tidak punya pijakan moral yang jelas.

Dan yang lebih berbahaya dari itu adalah terdorongnya pemerintah dan negara secara kelembagaan akan  saling melindungi untuk melakukan praktik korupsi.

"Dan jika situasinya sudah seperti itu, apa kita masih punya alasan untuk melanjutkan pemerintahan dan negara yang dikelola seperti demikian," tandas Tunggul pedas.


.iwy

JabarCeNNa.com, Cirebon - Beberapa aktivis dari Forum Aktivis Muda Cirebon Raya (FAMCR) melakukan sujud syukur atas ditangkapnya Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra oleh petugas KPK, tepat di depan Pendopo, Rabu, 24 Oktober 2018, malam

Koordinator FAMCR, Ivan Maulana mengatakan, begitu dirinya mendengar Bupati Sunjaya kena OTT, dia pun langsung mengontak anggota FAMCR lainya dan meluncur ke pendopo.

"Kita bersyukur, dan kita lakukan sujud syukur atas ditangkapnya pemimpin yang dzholim," ungkap Ivan.

Kabupaten Cirebon selama di bawah kepemimpinan Sunjaya, menurut Ivan, tidak mengalami perbaikan apa-apa.

" Apa yang sudah dia buat selama lebih 4 tahun kepemimpinanya," kata Ivan dalam nada bertanya.

Ivan juga mengatakan, pihaknya mencatat, selama Sunjaya memimpin telah melakukan mutasi pejabat sebanyak 21 kali.

Itu kan berarti, mutasi pejabat ada lima kali dalam setahun, ucap Ivan.

"Dan mutasi pejabat yang dilakukan selalu berbau transaksional," ketusnya.

Sementara kabarnya, lanjut Ivan, Sunjaya ditangkap karena suap jual beli jabatan.

Ivan mengaku bersyukur atas ditangkapnya Sunjaya, dan itu mungkin berkat doa orang Cirebon dan orang-orang yang pernah dizholimi Sunjaya, tutur Ivan.

"Kalau gak tertangkap, berarti Wong Cirebon harus merana selama 5 tahun lagi," ujarnya.


.jamal/tn
Diberdayakan oleh Blogger.